Monday, 29 April 2013

Suara Kampung


SUARA KAMPUNG
                                                                               Oleh: rantaudemister
            Sudah tiga hari aku minikmati liburan di kampung ayah, jorong padang pinang, munka, kota payakumbuh ini, desa yang nyaman dan masih alami, gunung-gunung dan bukit-bukitnya begitu hijau dilihat setiap hari, apalagi dilihat pagi hari, Aura kebiruan dari gunung-gunung dan bukit-bukit ini akan selalu menbuat nyaman siapapun yang memandangnya, apalagi aku yang sangat mencintai alam, rasanya kampung ini seperti desa impian bagi orang-orang yang mencintai alam, dengan alasan inilah aku lebih memilih liburan semester ini pulang kekampung ayah di kawasan payakumbuh ini, dari pada kekampung mama yang terletak tepat di kota Pariaman, yang suasananya sekarang sudah sama dengan kota-kota lain, rame dan bising menurutku, apalagi liburan kali ini mama tidak ikut pulang ke kampung, karena urusan pekerjaan restoran yang tak munkin di tingalkan di Jakarta.
            Walaupun baru tiga hari aku di kota payakumbuh ini, hampir semua sudut kota payakumbuh ini telah aku datangi, mandi-mandi dan melompat-lompat kedalam lubuk yang ada di ngalau indah, serasa tidak menbosankan, belum lagi jalan-jalan ke rumah gadang, istana peningalan kerajaan pagaruyung, yang ada di Batusangkar, semuanya telah aku datangi dan sangat menyenangkan sekali bagiku.
                   
                                         ***
            Malam yang sangat dingin, apalagi dari jam sepuluh tadi malam hujan turun dengan sangat lebat, aku melirik jam di dalam hapeku, sudah jam empat tiga puluh, harusnya sudah adzan subuh, tapi belum ada tanda-tanda akan ada adzan subuh dari mesjid yang satu-satunya ada dikampung ini, aku melihat ke arah mesjid, lampu-lampu mesjid belum ada yang nyala satupun, munkin karena hujan masih rinai atau pak etek yang biasa adzan di mesjid ketiduran pikirku, aku bergegas keluar rumah setelah mengambil peci dan sarung yang tergantung dibelakang pintu kamarku
            Pagi yang cerah, aku terbanggun dari tidurku setelah mendengar banyaknya suara bapak-bapak dan ibu didepan rumah andeh Ros, adek ayah, tempat aku menginap dikampung ini, rata-rata mereka berpakaian siap tempur ke ladang dan kesawah, hanya ayah dan andeh Ros yang berpakain rapi dan bersih
            “subhanallah ros, selama ini, baru tadi subuh aku mendengar suara adzan dari mesjid kita, indah dan nyaman mendengarnya..!!” ucap seorang ibu-ibu pada andeh ros, kalau tidak salah nama ibuk itu etek Tina, aku pernah kerumahnya diajak ayah silahturahmi kemarin.
            “memangnya siapa yang adzan etek..?” Tanya andeh Ros pada etek Tina.
            “itulah yang kami tidak tahu ros, begitu kami sampai di mesjid, tidak ada seorangpun di dalam mesjid, mesjid pun juga tetap gelap..!! sambar pak etek menjawab pertanyaan andeh Ros. “rasanya kampung kita seperti siap didatangi malaikat..! sambung pak etek lagi. Aku yang sudah ikut-ikutan berdiri disekitar kumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu itu hanya terdiam mendengar perkataan mereka, hanya tatapan ayah yang tajam kepadaku, menbuat aku jadi salah tingkah.
            Telah dua hari sejak kejadian adzan subuh itu, hampir semua penduduk di desa padang pinang ini menbicarakanya, bahkan saking indahnya suara adzan itu, mereka mengatakan kampung ini baru saja didatanggi malaikat, dan suara adzan itu adalah suara kampung yang selama ini hilang dari jorong padang pinang.
Kepenasaran penduduk desa padang pinang ini akan siapa pemilik suara adzan yang indah itu, lama-lama akhirnya mengarah kepadaku, disamping hanya aku yang baru di kampung ini, mereka juga tidak begitu mengenal akan suaraku, yang namanya hidup di kampung dan di desa pedalaman, hampir semua masyarakat mengenal ciri-ciri masyarakat lainnya, mulai dari suara, cara berjalan, ketawa, lari atau apapun lainnya, makanya kalaupun berjalan di malam hari ditempat gelap sekalipun dan saling berselisih jalan, mereka akan tetap saling mengenal dan bertutur sapa, karena mereka sudah mengenal ciri-ciri mareka masing-masing.
Sore ini pak etek datang kerumah andeh Ros untuk menemui ayah, pak etek hanya sedikit ingin memastikan apakah yang adzan dimesjid subuh itu aku atau tidak, ayah tidak bisa menjawab karena ia belum menanyakan kepadaku, tapi ayah tidak menampik kalau aku adalah pemenang lomba adzan tingkat SMP se jakarta timur tahun ini, tapi ayah yakin yang adzan subuh itu bukan aku, karena ia tahu seperti apa suaraku.
“kamukan tahu saf, sudah lama masyarakat kampung ini, merindukan suara adzan yang indah, yah sejak si Fino tidak ada, kampung ini pun seperti mati suri, mesjid pun sepi, suara si fino kalau adzan, benar-benar seperti suara kampung, banyak yang menangis kalau mendengar dia adzan.!!” Cerita pak etek pada ayah, aku hanya diam mendengar pembicaraan mereka dari dalam kamar.
Tadi subuh andeh Ros bercerita, dulu kampung ini sangat dihormati dan disegani oleh kampung lain, banyak Qori dan Mu’adzin lahir dari kampung ini, ada yang juara tingkat kabupaten, provinsi bahkan nasional, sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun, bibit emas itu tidak ada lagi, jangankan berbicara tingkat kabupaten, untuk mencari mu’adzin di mesjid saja susah, apalagi mencari orang untuk mengaji al-Quran ketika acara-acara di mesjid saja susah. “yang bisa adzan banyak, tapi yang bisa menyentuh hati orang untuk ke mesjid ketika mendengar dia adzan tidak ada. “ itulah penutup dari cerita andeh Ros tadi pagi kepadaku.
“ayah, yang adzan itu bukan aku, ayah kan tahu, lalu kenapa tidak ayah katakan saja terus terang..!” ucapku kepada ayah ketika aku akan pergi ke mesjid untuk sholat maghrib.
Ayah hanya menatapku, ia tahu akau sedikit kesal dengan posisiku saat ini, “kamu katakan saja yang sebenarnya dan sejujurnya pada pak etek nanti di mesjid, biar dia yang mengatakan pada orang-orang kampung.” Jawab ayah sambil merangkulku.
Begitu selesai sholat maghrib, aku langsung menemui pak etek dan mengatakan sejujurnya, bahwa yang adzan itu bukan aku, aku lihat ada rona kecewa dari wajahnya, ia memandang semua jamaah yang ada dimesjid, memang sejak fenomena adzan yang indah itu, sudah agak banyak jamaah yang datang kemesjid saat sholat mahgrib. “kalau memang bukan nak Harlan, bagaimana lagi..!” pak etek bicara sedikit kecewa, ia memandang pak imam yang duduk disebelahnya, “tapi nak Harlan harus menbuktikan kepada warga kalau memang yang adzan itu bukan nak Harlan .!” pak etek menatapku lurus dan tajam, aku hanya menekur kelantai.
“maksud pak etek, saya harus adzan gitu..?!!” tanyaku.
“ya, bukankah kamu pernah juara adzan di Jakarta, saya rasa kamu harus mencobanya di kampung ini.!!”jawab pak etek tersenyum, setelah berusaha menyakinkan aku agar mau adzan subuh di mesjid ini besok, pak etek menceritakan kepadaku, bagaimana rindunya masyarakat akan keindahan suara adzan yang mengema sekeliling kampung ini di saat subuh dan maghrib, menbangunkan jiwa-jiwa yang tidur dan menghilangkan rasa capek dan penat setelah seharian bekerja disawah.
Entah bagaimana cerita dan kabarnya, hanya dalam waktu semalam saja berita aku akan adzan dimesjid subuh ini telah menyebar di seluruh kampung ini, aku cukup bergidik ketika aku akan masuk kedalam mesjid, hampir semua penduduk hadir di dalam mesjid ini, mulai dari anak-anak, bapak-bapak, para remaja dan ibuk-ibuknya, bahkan beberapa dari warga kampung sebelah juga hadir di mesjid ini, padahal jaraknya cukup jauh dari sini.
Dengan hati yang seihklas-ikhlasnya dan ingin menbuktikan bahwa pemilik suara kampung itu bukan aku, ada yang lebih berhak di luar sana yang mendapatkanya, tapi aku tidak tahu siapa orangnya.
“Allahu akbar, allahu akbar..!!!” perlahan-lahan aku mulai adzan, mengatur nafas sebaik-baiknya dan mengingat semua harkatnya, sesuai yang diajarkan oleh guru pembinbingku disekolah waktu aku ikut lomba adzan dulu, begitu selesai sholat subuh aku banyak mendengar bisik-bisik dari semua warga yang hadir subuh ini, yang katanya jamaah yang hadir subuh ini lebih banyak dari jamaah peringatan maulid nabi kemaren. Suara kekecawaan dari mereka karena bukan aku yang mereka cari.
“ini adalah tugas kamu untuk menemukan suara kampung itu nak Harlan, suara yang selama ini hilang, yang dirindukan oleh semua orang di kampung ini.” Kata pak imam sambil menyalamiku, Nampak air mata mengenang disudut matanya,”temukan dan bawalah suara kampung itu kepada kampung ini.!!”
“insya allah pak, saya akan coba menemukannya, semoga ia benar-benar yang dicari-cari dan dirindukan warga kampung ini.!!” Jawabku pada pak imam.
Aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menemukan pemilik suara kampung itu, disamping aku masih baru di kampung ini, aku juga tidak mengenal pemilik suara-suara yang biasa ditandakan warga kampung ini, bahwa yang sedang bicara itu si ini, si itu, yang ketawa itu si anu, walaupun jarak mereka sanggat jauh atau dalam gelap malam sekalipun, aku berdo’a semoga Allah menbantuku, sebelum aku kembali ke Jakarta minggu depan dan membantu masyarakat kampung ini dan si pemilik suara kampung itu

***
Ternyata tuhan benar-benar sayang dengan orang yang berniat baik dalam kesusahan, disaat aku sedang pusing memikirkan bagaimana cara menemukan suara kampung itu, aku tiba-tiba melihat ada banyak sapi-sapi yang sedang melintas didepan rumah andeh Ros, hanya suara hus-hus yang aku dengar untuk mengarahkan sapi-sapi itu agar tetap berjalan dan tidak memakan tanaman warga di jalan, penasaran aku mengikuti laki-laki yang mengiring sapi-sapi itu, aku berjalan cepat mendekatinya.
“hai..!” sapaku, dia tersenyum padaku namanya Aidil, dia seumuran denganku, aku sudah pernah bertemu denganya ketika ayah mengajaku silahturahmi kemarin.
“Harlan, tumben jalan pagi ni.?” Aidil menyindirku, ya aku memang setiap subuh selalu menonton Tv, menungu liputan sepak bola yang tayangnya selalu jam setengah enam pagi.
“boleh ikut gak sama kamu dil..?” tanyaku. Aidil tersnyum
“ikut kemana,?, sapi ini Cuma aku antar kesawah..!! jawab aidil.
“ya mo ikut kesungai, kesawah, mandi sekalian.!” Jawabku cepat dan mencari alasan, karena aku aku melihat di tangannya ada sampo. Ternyata aidil adalah orang yang asik untuk diajak berteman, walaupun aku baru mengenalnya lima belas menit yang lalu, tapi sudah langsung akrab, puas kami bermain disawah, dan melompat-lompat kedalam anak-anak sungai yang mengalir jernih, sejenak aku melupakan kesuntukkanku dan menikmati liburan ini, matahari sudah tinggi, aidil mengajakku pulang, menurut pengalamnya sekarang sudah jam Sembilan pagi, aku dan Aidil kembali menuju kedalam kampung, sementara sapi-sapinya ditinggal disawah.
Setelah sholat dzuhur aku memaksa ayah untuk ikut denganku kesawah, dengan berbagai alasan akhirnya ayah ikut juga, sesampainya di sawah aku tidak melihat siapa-siapa, hanya kerbau yang sedang berkubang di dalam sawah dan beberapa ekor sapi, memang disaat panas-panas seperti ini, sangat jarang orang-orang untuk kembali kesawah setelah makan siang.

Ayah menatapku lekat-lekat, Nampak bulir-bulir keringat keluar dari wajahnya, tapi aku yakin apa yang aku cari selama ini ada di sini, tapi bagaimana munkin bisa menemukanya, sekeliling tempat aku berdiri bersama ayah ini hanya sawah yang luas dan anak-anak sungai yang jernih
Dan dipingir sawah ini sekelilingnya ada bukit-bukit yang tinggi dan masih memiliki hutan. Aku mengajak ayah menuju kaki bukit yang ada hutan dan semak-semaknya. Di sini aku hanya melihat sapi-sapi yang sedang berteduh, udara disini sangat sejuk, karena tempatnya masih asri dan berhutan dan ditambah lagi ditiup anggin dari sawah, seperti biasa ayah tidak banyak bicara, tapi aku yakin ayah sangat menikmati udara disini. “kalau dilihat dari sini, kampung kita akan terlihat semua, rumah-rumah yang jaraknya sangat jauh dan berkelompok-kelompok, sawah sawah yang menghijau. “Kata ayah padaku mencairkan suasana. “dulu waktu kecil ayah sering main perosotan dari atas puncak bukit ini “tunjuk ayah padaku, di saat ayah sedang bercerita, lamat-lamat aku mendengar suara seseorang, aku berusaha menajamkan pendengaranku, suara itu berasal dari dalam semak-semak yang ada di tengah-tengah bukit ini. Aku berusaha menerobos masuk kedalam semak-semak itu tapi tidak bisa karena sangat lebatnya, aku mengelilingi semak-semak itu, ternyata ada sedikit terluang antara dua pohon besar yang terdapat paling pinggir dari semak-semak ini, aku masuk di ikuti oleh ayah.

Ternyata jauh di tengah semak-semak ini terdapat rumput yang sangat luas rapi dan terawat, dan udara yang sangat sejuk, karena ditengah-tengahnya ada satu pohon besar yang sangat rindang Dan disitulah aku melihat seseorang lengkap dengan sarung dan peci duduk diatas tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan, ia sedang tenggelam dengan bacaan ayat-ayat suci Al Quran yang digengamnya, bacaan ya fasih dan sangat jelas, suara sangat merdu siapapun yang mendengarnya pasti akan tersentuh dan akan terus mendengarnya tanpa merasa bosan, karena indahnya suaranya, dan suara inilah yang sudah dirindukan oleh orang-orang kampung setelah lebih dari sepuluh tahun, dari mendengar suaranya yang menyejukkan hati ini, pantaslah kenapa masyarakat padang pinang mengharapkan kehadiran suara ini kembali ditengah-tengah mereka.
Aku melihat ayah menitikkan air mata, Nampak nya kehadiranku aku bersama ayah telah mengangu dan mengagetkannya, karena telah mengetahui siapa sebenarnya pemilik suara kampung itu, dan menemukan tempat persembunyiannya, ia menoleh kepadaku dan menatap ayah, ia tersenyum, senyum yang selalu khas aku lihat dari bibirnya, ayah berjalan kearahnya dan memeluknya, ayah mencium kepalanya seperti mencium anaknya sendiri. “saya mintak maaf karena tidak menjalankan amanat ayah mu.!” Ayah mintak maaf kepadanya, dan menangis, aku juga ikut menangis, dia juga menangis dipelukkan ayah.

Subuh ini, rasanya seperti sholat hari raya, hampir semua warga datang kemesjid untuk menjalankan sholat subuh berjamaah, termasuk aku ayah dan keluarga andeh Ros, Nampak suasana bahagia terpancar dari wajah masyarakat di pagi yang indah ini. Aku melihat hampir semua masyarakat menitikkan air mata ketika pemilik suara kampung itu adzan, suara yang selama ini hilang lebih dari sepuluh tahun, semenjak mereka mengusir Adam fino dan Maryati wanita sholeh yang juga seorang Qori’ah dari kampung ini, karena di fitnah dan berzina sehingga mereka dipaksa menikah dan tidak boleh pulang kekampung ini sampai anak mereka berumur tujuh tahun, hukuman yang didapat mereka dari adat yang ada di kampung, sayang, takdir mereka memang harus di tanah rantau selamanya, setelah mereka menjalankan hukuman tujuh tahun atas fitnah itu, mereka berniat pulang kampung, sayang mobil mereka kecelakaan, keduanya meninggal dan dikubur di Jakarta, tapi anaknya, yang berumur tujuh tahun dibawa pulang kekampung ini.

Hari ini ia telah mengharumkan kembali nama ayah dan ibunya, atas tuduhan perzinahan itu, semua warga tampa merasa malu dan menitikkan air mata mintak maaf kepadanya, dan perlakuan mereka kepada orang tuanya.. Selama ini, ia selalu merasa tak dianggap ada oleh masyarakat padang pinang, hari ini ia seperti Emas yang ditemukan hilang kedalam lumpur selama ini. Aku hanya tersenyum sambil memeluk ayah, kebahagiaanya juga kebahagiaanku, kebahagiaan warga kampung padang pinang.

AIDIL ARISMEN itulah namanya, tujuh tahun telah berlalu sejak kejadian itu, hari ini ia menjadi juara satu tahfidz al Quran tiga puluh juz tingkat Asia, dan mendapatkan bea siswa penuh dari pemerintah Arab Saudi untuk kuliah disana, dari televisi aku melihat ia menangis menerima pialanya dan mengucapkan terima kasih kepada semua warga padang pinang dan warga Indonesia yang telah mendukungya, termasuk ayahku dan keluargaku, karena selama tujuh tahun ini, AIDIL ARISMEN tingal bersama kami, sesuai amanat orang tuanya kepada ayah. Hanya air mata yang keluar dari kami sekeluarga ketika ia mengucapkan kata-kata itu.***

No comments:

Post a Comment